Depok, reportaseindonesia.id | Kota Depok resmi membuka Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun Ajaran 2025/2026 untuk jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK. Panduan lengkap terkait syarat, jalur, dan jadwal pendaftaran sudah dirilis, memberikan kejelasan bagi ribuan calon siswa di kota ini.
SPMB 2025 menawarkan lima jalur pendaftaran yang berbeda: domisili, afirmasi, inklusi (disabilitas), prestasi, dan mutasi. Keberagaman jalur ini diharapkan dapat mengakomodasi berbagai latar belakang dan kebutuhan calon siswa.
Namun, di tengah euforia pembukaan SPMB, suara kritis datang dari Anggota DPRD Kota Depok Fraksi PPP, Qonita Lutfiyah. Ia secara tegas meminta perhatian lebih dari Pemerintah Kota (Pemkot) Depok dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar) terhadap anak-anak yatim dan keluarga pra-sejahtera, terutama dalam konteks jalur afirmasi.
“Anak-anak yatim piatu dan keluarga tak mampu harus mendapatkan perhatian khusus di semua jalur penerimaan siswa, terutama di jalur zonasi dan afirmasi,” ujar Qonita.
Ia menyoroti potensi penyalahgunaan jalur afirmasi, di mana kerap ditemukan kasus orang mampu yang mengaku miskin demi mendapatkan akses pendidikan melalui jalur ini.
Ketua Badan Kehormatan Dewan (BKD) DPRD Kota Depok ini menekankan pentingnya verifikasi lapangan untuk memastikan kebenaran data calon siswa. “Ini sering terjadinya saat penerimaan siswa baru, banyak modus orang yang mampu yang mengaku miskin masuk melalui jalur afirmasi. Jadi perlu di cek langsung kebenarannya,” terangnya.
Qonita menegaskan bahwa pendidikan adalah hak fundamental. Ia mendesak pemerintah untuk proaktif dalam membantu anak-anak yatim dan keluarga pra-sejahtera agar tidak terhambat mengenyam bangku sekolah.
“Harus dipermudah, jangan dipersulit. Kalau perlu didata dan didatangi langsung mereka untuk didaftarkan bersekolah, jemput bola jangan menunggu mereka mendaftar,” tutur Qonita, menyerukan pendekatan “jemput bola” yang lebih empatik.
Ia juga menambahkan bahwa anak yatim dan warga miskin bukan sekadar statistik, melainkan individu yang memerlukan empati dan perlindungan dari negara, khususnya dalam pemenuhan hak pendidikan mereka.
“Pemerintah harus punya sensitivitas. Anak-anak yatim piatu dan fakir miskin itu tanggung jawab negara,” pungkasnya.